IT Forensic

Belakangan ini marak sekali terjadinya kejahatan-kejahatan dalam dunia maya, kemarin di berita ada suatu kasus tentang pembobolan ATM bank oleh pihak-pihak yang tidak berwenang. Namun kasus ini sekarang sedang di selidiki oleh pihak kepolisian, kasus ini terungkap karena banyaknya nasabah bank yang melaporkan bahwa saldo uang mereka tiba-tiba banyak yang berkurang, dan hal ini tidak hanya 1 atau 2 orang saja, ternyata sudah banyak korban yang telah kehilangan saldo uangnya dari ATM.

Namun pada kali ini saya tidak membahas tentang kejahatan internet / cyber crime, saya akan membahas tentang IT forensic (bagian kepolisian yang menelusuri kejahatan-kejahatan dalam dunia computer/internet). Komputer forensik yang juga dikenal dengan nama digital forensik, adalah salah satu cabang ilmu forensik yang berkaitan dengan bukti legal yang ditemui pada komputer dan media penyimpanan digital.Tujuan dari komputer forensik adalah untuk menjabarkan keadaan kini dari suatu artefak digital. Istilah artefak digital bisa mencakup sebuah sistem komputer, media penyimpanan (seperti flash disk, hard disk, atau CD-ROM), sebuah dokumen elektronik (misalnya sebuah pesan email atau gambar JPEG), atau bahkan sederetan paket yang berpindah dalam jaringan komputer.

Setelah kasus pembobolan ATM mencuat ke permukaan para ahli IT forensic pun mulai menelusuri kasus tersebut, salah satu ahli forensic yang ada di Indonesia adalah Ruby Alamsyah. Ruby alamsyah namanya membumi setelah dia memperlihatkan teknik cara membobol ATM di tv, namun karena ulah sang maestro forensic ini, ada pakar telematika yang kontra akan aksinya yang mempertontonkan teknik membobol ATM tersebut di muka publik,

Digital forensik itu merupakan turunan dari disiplin ilmu teknologi informasi (information technology/IT) di ilmu komputer, terutama dari ilmu IT security. Kata forensik itu sendiri secara umum artinya membawa ke pengadilan. Digital forensik atau kadang disebut komputer forensik yaitu ilmu yang menganalisa barang bukti digital sehingga dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan (Ruby alamsyah).

Ayo dukung terus kegiatan kapolri dalam meningkatkan keamanan dalam Dunia cyber, mudah-mudahan IT forensic di Indonesia bisa lebih berkembang, sehingga kecenderungan tingkat kejahatan di dunia maya bisa dikurangi!!

Perkembangan Etika Profesi Pustakawan di Indonesia

Ilmu pengetahuan semakin berkembang seirama perkembangan intelektual dan kultur manusia. Pengembangan itu akan melahirkan spesifikasi dan spesialisasi baru, disamping juga akan terjadi pergeseran nilai bahkan konflik sains dan konflik sosial. Konflik ini bukan saja antar bidang tetapi dapat terjadi interbidang itu sendiri.
Untuk mengantisipasi konflik dan mengarahkan perkembangan bidang, maka lahirlah etika profesi yang kadang disebut dengan kode etik. Dari sinilah lahir kode etik wartawan, kode etik dokter, kode etik hakim, dan lainnya. Adapun kode etik pustakawan di Indonesia disebut Kode Etik Pustakawan Indonesia
Profesi bukan sekedar pekerjaan/vacation, akan tetapi suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian/expertise, tanggung jawab/responsibility, dan kesejawatan/corporateness. Profesi informasi (termasuk pustakawan) memerlukan variable-variabel, pengembangan pengetahuan, penyediaan sarana/insititusi, asosiasi, dan pengakuan oleh khalayak.
Profesi pustakawan pada jaman Mesir Kuno telah diakui dan memiliki kedudukan tinggi dalam pemerintahan dan mereka telah berpengalaman tinggi dan ahli bahasa. Profesi pustakawan di Indonesia secara resmi diakui berdasarkan SK MENPAN No. 18/MENPAN/1988 dan diperbaharui dengan SK MENPAN No. 33/MENPAN/1990, yang kemudian diperkuat dengan keputusan-keputusan lain yang berkaitan dengan kewajiban dan hak sebagai profesi dan fungsional pustakawan.
Pengembangan suatu profesi dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, ilmu dan teknologi yang dapat dibagi dalam 10 indikator yakni:
1. Tingkat kebutuhan masyarakat;
2. Standar keahlian;
3. Selektivitas keanggotaan;
4. Kemauan untuk berkembang;
5. Hubungan profesi dan ilmu pengetahuan;
6. Institusi;
7. Tingkat pendidikan;
8. Kode etik;
9. Pengamalan ilmu pengetahuan
10. Organisasi profesi
Profesi pustakawan pada mulanya menimbulkan pro dan kontra, sebab untuk menentukan suatu bidang itu termasuk profesi atau bukan perlu ditetapkan kriteria-kriteria tertentu yakni:
1. Memiliki Pola Pendidikan Tingkat Akademik
Pendidikan profesi tidak cukup hanya dengan penataran, tetapi perlu adanya pendidikan tingkat perguruan tinggi. Kini telah banyak perguruan tinggi yang membuka jurusan/program studi perpustakan antara lain di UGM, IAIN Sunan Kalijaga, UI, UNPAD, UNAIR, UNS, YARSI, dan lainnya.
2. Berorientasi pada jasa
Profesi pustakawan bergerak di bidang ilmu pengetahuan dan informasi untuk meningkatkan kehidupan intelektual masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu profesi ini pada mulanya bergerak dalam bidang sosial dan dalam perkembangannya sangat mungkin menuju pada orientasi keuntungan dalam batas-batas tertentu.
3. Tingkat Kemandirian
Tugas-tugas profesi pustakawan tidak harus dikerjakan di kantor atau tergantung pihak lain (atasan, pemakai, dan lainnya). Pustakawan dapat mengerjakan tugas-tugas kepustakawanan itu secara mandiri di manapun (apabila mau) misalnya menulis artikel, menulis buku, menyusun abstrak, membuat terjemahan, meresensi, menyampaikan makalah, maupun melakukan penyuluhan.
4. Memiliki Kode Etik
Kode etik ini disusun untuk mengembangkan dan mengarahkan perkembangan profesi. Apabila seorang profesional melanggar kode etik, maka dia akan ditegur, diperingaktkan, bahkan mungkin diberi sanksi oleh organisasi profesinya. (dalam hal ini IPI). Ikatan Pustakawn Indonesia telah memiliki kode etik yang dikenal dengan Kode Etik Pustakawan Indonesia.
5. Memiliki Batang Tubuh Ilmu Pengetahuan/Body of Knowledge
Ilmu perpustakaan telah berkembang dan selalu berkembang yang dalam perkembangannnya akan melahirkan cabang dan ranting dari pohon ilmu perpustakan dan informasi. Cabang dan ranting itu telah dipelajari di berbagai penataran, magang, dan pendidikan formal perpustakaan, misalnya: katalogisasi, klasifikasi, sirkulasi, pendidikan pemakai, dan lainnya.
6. Memiliki organisasi keahlian
Organisasi ini berfungsi merupakan media/alat untuk mengembangkan bidang, memajukan kualitas, mengusahakan kesejahteraan anggota, dan mengarahkan profesionalisme anggota. Bahkan organisasi inilah yang menetapkan kode etik profesi dan melaksanakan sanksi atas pelanggaran etika itu.
Di Indonesia juga terdapat organisasi profesi pustakawan bernama Ikatan Pustakawan Indonesia/IPI (baca IPEI) yang dibentuk di Ciawi Bogor dalam Kongres Pustakawan se Indonesia pada tanggal 5 – 7 Juli 1973. Namun demikian sebelum organisasi ini dibentuk, di Indonesia telah berdiri beberapa organisasi perpustakaan maupun pustakawan, baik jaman Belanda, menjelang kemerdekaan, atau sebelum terjadinya kongres tersebut
1. Masa Hindia Belanda
Pada tahun 1912 ada seorang guru pustakawan di HBS KoningWilhelm II Jakarta (dulu Batavia) bernama Dr. H.J. Van Lammel mempunyai ide tentang betapa pentingnya organisasi untuk para pustakawan. Kemudian pada tahun 1916 terbentuklah organisasi Perhimpunan Untuk Memajukan Ilmu Perpustakaan / Vereniging tot Bevordering van het Bibliothekwenzen yang bertujuan:
a) Memajukan berdirinya perpustakaan baru dan membentuk perpustakaan rakyat yang telah ada
b) Memajukan usaha sentralisasi perpustakaan;
c) Mengusahakan peminjaman antarperpustakaan di Hindia Belanda/Indonesia
d) Memajukan lalulintas pertukaran dan peminjaman bahan pustaka di dunia internasional;
e) Mengumpulkan dan memajukan sumber referensi dan tugas rujukan
f) Mendirikan biro penerangan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dokumentasi;
g) Mendirikan gedung untuk perpustakaan umum;
h) Usaha lain untuk tercapainya tujuan tersebut.
Adapun keanggotaannya mula-mula terbatas di Batavia lalu menyebar ke Medan, Surabaya, Tegal, Semarang, Bogor, Bandung, Bondowoso, dan Salatiga. Saat itu tercatat 62 orang anggota dan terbanyak dari perpustakaan khusus. Sampai dengan tahun 1920 organisasi ini tidak terdengar kegiatannya dan sejak itu pula sampai pendudukan Jepang praktis tidak ada organisasi pustakawan.
2. Masa 1945 - 1973
a) Sejak Indonesia merdeka mulai tumbuh kesadaran untuk mendirikan perpustakaan dan perlunya wadah untuk mengembangkan ilmu perpustakaan dan mengembangkan kerjasama antarperpustakaan.
b) Pada tahun 1949 berdirilah organisasi pustakawan bernama Vereniging van Bibliotheca Resen van Indonesie di Jakarta dengan tujuan untuk mengembangkan ilmu perpustakaan dan kerjasama antarperpustakaan serta penyusunan pedoman kerja. Kegiatan tersebut terhenti pada masa menjelang tahun 1950.
c) Pada tahun 1953 di Jakarta berdiri Asosiasi Perpustakaan Indonesia/API . Pada waktu itu juga di Yogyakarta dan Bogor berdiri organisasi Perkumpulan Ahli Perpustakaan yang bersifat lokal.
d) Pada tanggal 25 – 27 Maret 1954 di Jakarta berlangsung Konferensi Perpustakaan Seluruh Indonesia atas anjuran Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (saat itu) dan akhirnya melahirkan beberapa keputusan antara lain:
  1. Mendorong berdirinya Perkumpulan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia
  2. Perlu adanya pendidikan ahli perpustakaan
  3. Perlu adanya Dewan Perpustakaan Nasional
  4. Mendirikan perpustakaan umum;
  5. Perlu adanya kerjasama antarperpustakaan di Indonesia
e) Pada tanggal 27 Maret 1954 di Jakarta berdirilah Perhimpunan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia/PAPSI dengan tujuan:
  1. Mempertinggi pengetahuan dan ilmu perpustakaan;
  2. Menanamkan rasa cinta terhadap perpustakaan dan buku kepada umum (Pasal 2 Anggaran Dasar PAPSI).
Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi Asosiasi Perpustakaan Indonesia/API bergabung dengan PAPSI. Kemudian pada kongres PAPSI bulan April 1956 diputuskan untuk diperluas dan nama organisasi menjadi Perhimpunan Ahli Perpustakaan Arsip, dan Dokumentasi/PAPADI. Kongres PAPADI pertama berlangsung di Jakarta pada tanggal 19 – 22 Oktober 1957.Kemudian pada pertemuan antar anggota di Jakarta pada tanggal 12 Juli 1962, organisasi ini berubah menjadi Asosiasi Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi/APADI. Karena keadaan ekonomi dan politik kurang mendukung saat itu, maka kegiatan APADI tidak nampak.
f) Pada tanggal 5 Desember 1969 di Jakarta terbentuk Himpunan Pustakawan Khusus Indonesia / HPCI dengan tujuan:
  1. Membina perkembangan perpustakaan khusus di Indonesia
  2. Memupuk hubungan antar anggota (Pasal 2 Anggaran Dasar HPCI).
3. Masa 1973 – sekarang
Pada perkembangan selanjutnya terjadilah suatu pertemuan yang melahirkan Ikatan Pustakawan Indonesia/IPI . Pada tanggal 21 Januari 1973 .